Dilema Manusia, Bumi dan Plastik
Dunia mulai cemas dengan sampah plastik yang mencemari laut, gerakan
mengurangi penggunaan kantong plastik sedang ramai di seluruh dunia. Di
beberapa daerah di Indonesia pun sudah melarang penggunaan plastik
melalui peraturan daerah, namun peraturan tersebut justru menimbulkan
pro dan kontra karena dianggap tidak solutif. Indonesia sebagai salah
satu penyumbang sampah plastik ke laut terbanyak kedua tidak diimbangi
dengan kapasitas pengolahan limbah plastik yang baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari
University of Georgia, pada tahun 2010 ada 275 juta ton sampah plastik
yang dihasilkan di seluruh dunia. Sekitar 4,8-12,7 juta ton diantaranya
terbuang dan mencemari laut.
Jumlah Polusi Laut atas Sampah Plastik (juta ton/tahun):
China : 3.53
Indonesia : 1.29
Filipina : 0.75
Vietnam : 0.73
Sri Lanka : 0.64
Thailand : 0.41
Mesir : 0.39
Malaysia : 0.37
Nigeria : 0.34
Bangladesh : 0.31
Manusia terbiasa dan nyaman menggunakan plastik karena kuat, ringan
dan sangat praktis, dan karena ulah manusia juga sampah plastik menjadi
ancaman ekologis. Dalam penelitian pencemacaran sampah plastik di laut
Indonesia yang dilakukan LIPI(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sampah
plastik yang mencemari laut selama ini tidak hanya dalam ukuran besar,
tetapi ada juga kandungan mikroplastik dalam skala ukuran yang jauh
lebih kecil.
Selain hewan laut yang menderita karena terlilit sampah plastik kita
sendiri manusia juga bisa terkena dampaknya dari mikroplastik yang bisa
dimakan oleh ikan yang nantinya ikan tersebut akan dikonsumsi oleh
manusia dan bisa menimbulkan penyakit.
Dalam rangka mengurangi sampah plastik Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan telah meneken pergub Nomor 142 tahun 2019 tentang Kewajiban
Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan,
Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Pergub tersebut akan berlaku pada 1
Juli 2020, dan sebelum pergub itu diberlakukan secara efektif, Pemprov
DKI akan menyosialisasikan aturan tersebut selama Januari hingga Juni
2020.
Objek yang dilarang adalah kresek(kantong plastik sekali
pakai) dan objek penggantinya yaitu kantong berbahan daun kering,
kertas, kain, polyester dan turunannya maupun materi daur ulang, hal ini
menjadi dilema karena dalam sejarahnya kantong plastik justru
diciptakan oleh Stef Gustaf Thulin pada 1959 untuk menyelamatkan bumi
dengan cara mengurangi penggunaan kantong berbahan kertas. Semakin
banyaknya penggunaan kantong berbahan kertas semakin banyak pula
penebangan pohon, hal ini juga lebih berdampak buruk bagi lingkungan.
Bagi Stef Gustav Thulin membuang kantong plastik setelah digunakan
adalah perbuatan yang aneh, dia selalu membawa kantong plastik dalam
sakunya dan menggunakanya lebih dari sekali. Kantong plastik yang murah,
kuat dan praktis seharusnya bisa digunakan berkali-kali tetapi kita
malah membuangnya setelah sekali pakai.
Mengurangi/melarang penggunaan kantong plastik untuk mengurangi
sampah plastik bukanlah ide yang buruk, namun menggantinya dengan
kantong berbahan kertas(lagi) justru lebih berbahaya bagi lingkungan
karena dalam produksinya kantong kertas membutuhkan lebih banyak energi
dan lebih banyak air dibanding kantong plastik yang lebih hemat energi
dalam produksinya.
Terlepas dari bahan apapun kantong belanja yang kita pakai, kita
seharusnya sebagai individu sadar akan dampak dari pencemaran lingkungan
yang kita buat sendiri, membuang sampah pada tempatnya saja belum
cukup, kita bisa mengurangi pencemaran lingkungan menggunakan kantong
plastik berlaki-kali, menggunakan wadah makan dan minum yang reuseable, tidak menggunakan produk kemasan sekali pakai dan sebagainya.
Indonesia juga harus meningkatkan sistem pengolahan limbah plastiknya
dibanding melarang kantong plastik dan menggantinya dengan kantong
kertas.
Comments
Post a Comment