Menyabotase diri sendiri
Gue secara tidak sadar menyabotase diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkungan gue atas semua hal yang menahan gue untuk mencapai tujuan gue.
Sedari SMA, gue mencari passion dan tujuan hidup. Gue mencoba banyak hal kaya bikin musik, menulis, stand up comedy, jualan baju, dan masih banyak lagi. Dan semua itu gagal karena ketidakkonsistenan gue dalam mengerjakan semua itu.
Gue ngerasa selalu ada aja orang yang menahan dan membuat gue tidak konsisten, yang akhirnya sulit untuk mencapai tujuan dari tiap hal yang gue lakuin.
Gue selalu menyalahkan orang lain dan lingkungan gue. Akan selalu ada hal yang bisa gue salahkan, karena itu gue jadi ngerasa “gara-gara dia nih, gue hari ini jadi ga bisa ngerjain tugas gue.”
Gue juga selalu menyalahkan lingkungan gue karena tidak mendukung gue untuk produktif. Dan karena itu gue menyerah, berhenti, tidak konsisten, dan lagi, menyalahkan hal eksternal yang menyebabkan gue berhenti.
Semua ambisi menggebu-gebu gue di awal hilang gitu aja. Hanya ada sisa-sisa penyesalan. Gue sering berpikir, kalau aja gue konsisten dan disiplin mungkin aja gue bisa bikin musik kaya Weird Genius, nerbitin buku di Gramedia kaya Raditya Dika, atau jadi Line up Stand Up Fest kaya Ardit Erwandha. Gue menyesali buruknya sikap disiplin dan ketidakkonsistenan gue.
Lalu gue bertanya ke diri sendiri,
“Apa iya, semua kegagalan ini disebabkan sama orang lain? apa iya, gue menunda tugas-tugas gue itu karena ada temen yang ngajak main game? atau karena sakit hati di-ghosting gebetan?”
dan gue sadar,
Bukan. Bukan karena mereka semua. Tapi karena gue sendiri yang tolol, gue sendiri yang mencari-cari alasan untuk menunda-nunda semuanya.
Musuh terbesar gue ya diri gue sendiri.
Bukan temen gue yang ngajak main Valorant, tapi gue yang mengiyakan dan menjadikan itu alasan untuk menunda tugas gue.
Bukan karena sakit hati di-ghosting gebetan, tapi gue yang menjadikan itu alasan untuk “Healing” dan menunda tugas gue.
Masalahnya adalah, gue bisa bikin 1001 alasan. Kalau alasan pertama ga berhasil, gue mencoba mencari alasan lain sampe gue ngerasa alasan ini yang bikin gue menunda tugas gue. Tapi gue sadar, tugas gue ga akan selesai dengan sendirinya mau sampe 1001 alasan yang gue buat sekalipun.
Gue belajar dari buku Filosofi Teras-nya Om Piring, gue harus fokus pada hal-hal yang ada dalam kendali gue, bukan pada hal-hal yang diluar kendali. Ajakan main Valorant dari temen gue itu diluar kendali gue, yang ada dalam kendali gue adalah menyelesaikan tugas gue dulu dan menolak ajakan tersebut. Di-ghosting gebetan juga diluar kendali gue, yang ada dalam kendali gue adalah persepsi gue sendiri, mungkin karena emang si cewek ngerasa ga cocok aja, dan waktu yang ga jadi dipake buat jalan, nonton, dan pacaran sama dia bisa gue pake buat nulis, bikin musik, atau nulis materi stand up yang baru.
Untuk mulai berubah, semuanya dimulai dari diri gue sendiri. Dengan gue menyadari hal ini, gue jadi lebih memahami diri sendiri, apa yang gue butuhkan, dan apa yang harus gue lakukan. Sekarang kalau gue ngerasa ada yang salah sama hidup gue, gue berhenti sejenak. Dibanding mencari alasan-alasan untuk menunda menyelesaikan masalah tersebut, gue memakai waktu gue untuk mencari apa penyebab utamanya dan bagaimana solusi terbaiknya.
“There’s no other way than to face it.”
Saat lu hadapi masalah lu, lu bakal sadar kalau selama ini yang menahan lu sebenernya ya diri lu sendiri.
Comments
Post a Comment